: CATATAN-CATATAN TENTANG INSIDEN SABTU KELABU TRAGEDI AACC 9 FEBRUARI 2008 DAN UJUNGBERUNG REBELS
Oleh Kimung
1
Awalnya sekitar November 2010, ketika kawan dekat saya komikus Norvan Hardian Sang Pecandu Pagi tergolek lemah karena kangker pankreas yang dideritanya semakin akut, penerbitan buku ini secara spontan terlintas. Saya ingin mempersembahkan sesuatu untuk Norvan agar semangat hidupnya semakin terus menyala dan dia segera sembuh. Hingga ketika saya buka-buka folder naskahPanceg Dina Galur, Ujungberung Rebels—selanjutnya buku Panceg saja—pikiran itu terlintas. Kebetulan yang saya buka saat itu adalah folder artwork yang jika saya klik maka folder pertama yang muncul adalah folder artwork tragedi AACC.
<!--more-->
<!--more-->
Seketika ingatan saya terbang ke dua tahun lalu, sekitar September atau Oktober 2008 ketika saya dan Norvan melakukan eksperimen layout kutipan langsung kliping media seputar tragedi AACC untuk buku Panceg. Norvan saat itu sudah setengah jalan membuat desain kiping media dan dengan cepat ia kirim semua data yang sudah ia buat. Artwork-artwork yang raw, saya kira, penuh degan scratch dan bercak darah. Penuh dengan idiom senjata, kekerasan, kesakitan, dan aura kelam. Cocok banget dengan kisah tragedi AACC dan seputaran epik yang terbangun di sekitarnya. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama degan hasil kerja sahabat saya itu dan saya simpan dengan baik hasilnya hingga kini. Menunggu waktu yang tepat untuk rilis bersama rentetan kisah sejarah Ujungberung Rebels lainnya, dalam buku Panceg.
Dan waktu terus berlalu…
Beragam dinamika yang terjadi dalam kehidupan pribadi saya, pun di ranah kreatif di mana saya menghajar jalanan memaksa saya untuk terus menunda penerbitan buku Panceg. Sementara waktu terus berlalu dan halaman buku Panceg semakin hari semakin bertambah. Tahun 2009 ketika saya cetak naskah awal buku Panceg, tebalnya mencapai 1643 halaman. Ketebalan yang sangat tak ramah untuk para pembaca, pun untuk saya yang berencana menerbitkannya sendiri dengan biaya sendiri. Beberapa kawan menyarankan saya untuk membagi naskah menjadi beberapa buku seri sejarah Ujungberung Rebels. Namun fokus saya memang belum sampai di buku ini. Di tengah jenuh dengan masa depan buku ini, saya tenggelam semakin asyik bermusik dan membuat film. Norvan pun kembali asyik dengan dunia guru ketika ia membuat Sekolah Taman dan mengajar di Sekolah Peradaban Serang Banten.
Sampai akhirnya November 2010 ketika muka saya panas ditampar kenyataan jika Norvan sakit kangker pankreas stadium 4 dan ia divonis hanya bisa bertahan selama empat bulan. Walau saya lihat Norvan begitu iklas dan tegar dengan peyakitya, saya rasa saya harus mempersembahkan sesuatu agar semangatnya selalu terjaga. Dan sejauh yang bisa saya lakukan adalah merilis karyanya. Artworknya tentang tragedi AACC inilah yang seketika menginspirasi saya. Sekaligus membukakan sebuah kemungkinan solusi memilah naskah buku Panceg yang super tebal ke dalam beberapa seri buku degan elegan—sekaligus memberikan persembahan kepada para martir ranah musik independen—sebelas adik saya yang meninggal di kekisruhan pasca konser band Beside, tiga tahun lalu, 9 Februari 2008.
Dan ketika saya ingat-ingat lagi tiga tahun ke belakang, tak ada hal monumental yang benar-benar sudah kami persebahkan buat para korban tragedi AACC. Sempat tercetus ide pembangunan monument atau setidaknya prasasti ayng akan dipasang di Gedung AACC sebagai menumen peringatan buat para korban. Namun entah kenapa ide itu seakan menguap di udara. Tak ada pihak yang secara serius memperhatikan kemungkinan ini sepertinya. Untuk itulah, penerbitan buku ini, saya kira akan lebih bernilai baik secara menumental, historical, maupun secara edukatif, di mana akan terbentuk satu ranah dialetika dari sebuah karya. Saya harapkan dialektika yang terbangun akan juga membangun kesadaran bersama bagi kita hidup secara sosial bersama kawan-kawan dan masyarakat lain yang lebih luas.
2
Maka demikian, naskah buku ini adalah bab ke-22 dan ke-23 buku Panceg. Sebenarnya, berkaitan dengan dinamika Ujungberung Rebels pasca tragedi AACC, saya ulas dalam tiga bab, 22, 23, dan 24 dengan bobot 288 halaman font 11 dan 10 times new roman, spasi satu . Hanya saja yang benar-benar fokus pada tragedi adalah bab 22 dan 23, dengan skup waktu pembahasan antara Januari hingga Agustus 2008—antara kolaborasi Burgerkill dengan Pure Saturday, bedah buku Myself : Scumbag, hingga konser tribute to GOR Saparua : Baheula Ayeuna Salilana Saparua. Bab 24 juga masih berkaitan erat degan tragedi, namun pembahasan sudah kembali fokus ke dinamika Ujungberung Rebels. Bab 22 dan 23 konsentrasi bahasannya adalah seputar tragedi serta segala hal yang dilakukan secara litigasi dan non litigasi untuk mempertahankan ranah musik metal Indonesia tetap terhormat di hadapan rakyat Indonesia pasca tragedi.
Ketika tragedi terjadi, saya memang sedang dalam proses menulis buku Panceg—buku tentang sejarah Ujungberung Rebels antara tahun 1988 hingga 2011 sebagai buku sambungan Myself : Scumbag Beyond Life and Death—dan karena Beside merupakan salah satu pionir metal hardcore di Ujungberung Rebels, dinamika ini tentu terus saya pantau dari waktu ke waktu, saya tuliskan dalam jurnal pribadi, sebagian saya masukkan ke dalam naskah Panceg, sebagian saya kliping untuk kawan-kawan yang membutuhkan data-data seputar tragedi dan dinamika ranah independen tahun 2008, terutama adik-adik mahasiswa yang biasanya dikejar tugas akhir kuliah. Ketika akhirnya keinginan saya untuk mempersembahkan sesuatu bagi sahabat saya Sang Pecandu Pagi ini sejalan dengan kesadaran sejarah dan ingatan tentang Insiden Sabtu Keabu tragedi AACC yang kembali merebak, saya memutuskan untuk menerbitkan buku tentang tragedi tersebut.
Pada kelanjutannya, ternyata langkah menerbitkan bagian khusus mengenai tragedi AACC ini sebagai sebuah buku tersendiri menjadi sangat penting bagi buku Panceg. Sebelumnya, 1643 halaman naskah awal Panceg sudah saya edit dan saya mampatkan menjadi sekitar 800 halaman. Setelah saya pisahkan sekitar 230an halaman dua bab naskah Panceg untuk buku ini, naskah berkurang menjadi sekitar enam ratus halaman, dan ketika saya pisahkan juga sekitar 400 halaman Jurnal Karat maka setidaknya naskah buku Panceg hanya tinggal sekitar 300 halaman. Sebuah beban yang normal untuk penerbitan buku sejarah dan relatif bisa diikuti oleh orang banyak. Akhirnya buku Panceg memang harus saya bagi menjadi tiga seri. Dengan terbitnya dua bab di buku menjadi satu buku ini tinggal dua buku lagi pekerjaan rumah saya : buku Panceg Dina Galur, Ujungberung Rebels—rencananya saya rilis Mei 2011—dan Jurnal Karat—rencananya saya rilis Agustus 2011, sebagai seri terakhir rangkaian buku sejarah ranah musik Ujungberung Rebels.
3
Buku ini kemudian saya beri judul Memoar Melawan Lupa, Catatan-catatan tentang Insiden Sabtu Kelabu Tragedi AACC 9 Februari 2008 dan Ujungberung Rebels. Dibuka oleh dinamika yang semakin bergairah di Ujungberung Rebels pasca terbitnya buku Myself : Scumbag yang tiba-tiba harus dibungkam dengan terjadinya tragedi AACC. Dalam kondisi kembali ke titik nol, kawan-kawan di ranah ini kembai dipojokkan oleh media, aparat, pemerintah, serta kelompok-kelompok masyarakat lainnya dan tak ada kata lain yang terintas saat itu selain melawan. Ujungberung Rebels pernah dihajar habis oleh media tahun 1999 yang berakibat mundurnya saah satu hasrat musik metal yang sedang top saat itu, black metal. Kini sekitar sepuluh tahun kemudian, kejadian serupa tak boleh berulang. Hanya keledai yang terjerumus ke dalam lubang yang sama dan anak-anak Ujungberung Rebels bukanlah sekelompok kedelai.
Maka berbagai upaya dilakukan. Bersama dengan kawan-kawan dari ranah kreatif di Kota Bandung, semua mengonsolidasi diri, merapatkan barisan, melawan stigma yang merebak dengan semena-mena seputar hasrat musik metal dan dinamika komunitas. Hal utama yang digarap komunitas saat itu adalah upaya non litigasi mencakup upaya penandingan opini di media serta yang utama adalah pemberdayaan komunitas—sebuah upaya yang nyata untuk membuat komunitas ini kembali dihidupi oleh cinta setelah sekian lama kita lupa bagaimana mencintai komunitas ini karena berbagai kesibukan individu hingga lupa bahwa kini ranah ini sudah memiliki generasi baru, generasi adik-adik yang haus akan perhatian kakak-kakaknya.
Skup temporal yang diambil adalah antara Januari hingga Agustus 2008, dibuka dengan fenomena thrash metal yang kembali bergema di ranah musik Bandung serta semakin bergairahnya death metal, terjadinya tragedi AACC, beragam upaya yang dilakukan di ranah litigasi dan non litigasi, hingga ditutup oleh salah satu upaya mengingat kembali akar sejarah ranah kreativitas Kota Bandung melalui sebuah pergelaran lintas batas waktu, Saparua Baheula Ayeuna Salilana, sebagai upaya revitalisasi GOR Saparua menjadi sebuah youth center dan gedung konser di Kota Bandung. Sementara itu, skup spasial yang diambil tentu saja Kota Bandung, terutama di berbagai kawasan yang tiba-tiba berubah fungsi menjadi crisis center.
Karena merupakan jurnal harian dalam upaya pembandingan opini di media, buku ini tak semua tuisan saya. Banyak sekali karya kawan-kawan di ranah independen yang saya cuplik, antara lain adaah karya Supriyanto, True Megabenz, Addy Gembel, Gustaff H. Iskandar, Reggi Kayong Munggaran, Idhar esmadi, Tian, Shydee, Kania Laksita Raras, Yasmin Kartikasari, Nyimas Indah, Ghifran Muhammad Asri, serta artikel-artikel yang saya ambil dari berbagai media baik lokal maupun nasional dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2008. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Ojel Krojel dan Addy Gembel yang sudah mengedit naskah buku ini, Popup yang melakukan tata letak buku, Arief Budiman untuk sampul buku yang mantap ini, dan Ulfah Haldha yang meminjamkan laptop kepada saya untuk mengedit naskah Memoar dan menulis pengantar rilisan buku ini. Mari semua berkolaborasi lagi!!!
Buku ini saya persembahkan kepada almarhum sahabt saya Norvan Hardian Sang Pecandu Pagi (6 Februari 1979 – 9 Desember 2010) atas inspirasinya. Walau Norvan meninggal sebelum buku ini terbit dan akhirnya artwork buatanyapun urung dimuat di buku ini karena keterbatasan biaya dari penerbit, namun buku ini tetap terinspirasi dari rasa sayang saya kepada Norvan, dari doa dan harapan saya di bulan November 2010 ketika saya memohon dengan sagat kesembuhan Norvan atau kedamaian akan menyertainya selalu. Work on brother!
Dan terutama, buku ini saya persembahkan kepada sebelas korban tragedi AACC 9 Februari 2008 : Novi Febriana, Dicky Zaelani Sidik, Kristianto, M. Yusuf Ferdian, Agung Fauzi Pratama, Dadi, Ahmad Wahyu, Yudi, Novan, Ahmad Furqon, Entis Sutisna—dan belakangan satu korban lagi menyusul, Ressa. Semoga iman islam kalian diterima di sisi Allah SWT dan keluarga serta sahabat-sahabat senantiasa dipelihara dalam kesabaran, amiin.
Semoga buku ini akan semakin menerbitkan kesadaran bersejarah baru bagi kita, membangun identitas diri kita sendiri sehingga kita akan semakin konsisten akan komitmen hidup kita, panceg dina galur. Semoga buku ini juga mempersatukan kita semua, sekaligus memberikan wawasan lain berkaitan dengan gairah dinamika musik yang terjadi di Indonesia dan dunia pada umumnya.
Salam!
Buku MEMOAR MELAWAN LUPA : CATATAN-CATATAN TENTANG INSIDEN SABTU KELABU TRAGEDI AACC 9 FEBRUARI 2008 DAN UJUNGBERUNG REBELS [IDR 49,000]
bisa didapatkan di Common Room (08568682557), Omuniuum (087821836088), Remains Rottrevore (0817206274), Chronic Rock, Scumbag PremiumThroaths (02291253421). Cepat dapatkan, buku terbatas!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar